Keberlangsungan Pangan Berawal dari Petani Milenial Bernama Maya Stolastika Boleng

“Sawah kita luas, tapi kok masih impor beras?”

“Laut kita luas, tapi kok masih impor garam?”

Pernah nggak sih terbesit mengapa hal ini terjadi? Sumber daya melimpah, alam mendukung, orang-orangnya juga masih ada. Tapi faktanya, ternyata memang masih banyak bahan pangan yang diimpor dari luar negeri. Ini lah ironi negeri.

Tetapi jika ditilik satu per satu banyak banget akar permasalahannya.Mulai dari sistem penanaman yang mengandalkan metode konvensional hingga berkurangnya jumlah petani produktif karena banyak anak muda yang lebih memilih profesi menjadi Aparatur Sipil Negara.

Sekadar informasi nih, menurut data BPS tahun 2018 terjadi penurunan luas bahan baku sawah yaitu 9,39% dari total luas sawah 7,75 juta hektar lahan pada tahun 2017. Angka ini juga diikuti dengan penurunan jumlah rumah tangga pertanian sebesar 16,25% dimana awalnya jumlah rumah tangga petani adalah 31,2 juta turun menjadi 26,13 juta rumah tangga. Makanya tidak heran jika angka impor pangan terus naik karena kebutuhan lebih besar dibandingkan jumlah pangan yang dihasilkan.

Untungnya, masalah seperti ini menjadi perhatian salah satu milenial zaman now. Siapa lagi kalau bukan Maya Stolastika Boleng yang dikenal sebagai petani milenial.

Pelajaran Berharga itu Bernama Kegagalan

Umumnya seseorang menekuni suatu aktivitas karena memiliki ilmunya atau karena hobby. Menariknya, Maya Stolastika Boleng adalah alumni Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Jadi, bukan karena basic ilmu yang dimiliki saat kuliah tetapi karena memang rasa keingintahuan yang tinggi.

Dimulai tahun 2008, Maya dara cantik asal Flores bersama rekan lainnya mulai menyewa lahan untuk dimanfaatkan sebagai lokasi pertanian organik. Ilmu semasa kuliah sebagai alumni sastra Inggris tidak banyak yang bisa digunakan dan dimanfaatkan, tetapi karena memang ketekunan dan kebiasaan belajar itulah yang dimanfaatkan untuk memulai menjadi petani milenial. Mulai dari belajar pembibitan, proses tanam hingga panen.

Maya Stolastika Boleng
Maya Stolastika Boleng

Seiring berjalannya waktu, panen perdana pun datang juga. Alih-alih menghasilkan duit dari panen tersebut, yang ada adalah biaya operasional membengkak. Bukan karena hasil panen yang banyak diganggu oleh hama, melainkan produk hasil panen sulit untuk didistribusikan. Akhirnya dipilihlah, pasar Induk Surabaya sebagai lokasi penjualan hasil panen perdana. Di pasar ini, harga yang diberikan sangat murah karena memang penentuan harga berdasarkan keinginan dari para tengkulak pasar. Alhasil, total pendapatan tidak bisa menutupi semua biaya yang sudah dikeluarkan.

Kegagalan ini membuat Maya sempat beralih dan meninggalkan lahan pertanian yang sudah disewa. Maya memutuskan untuk merantau dan kerja di Bali pada perusahaan biro perjalanan wisata. Selama 6 bulan bekerja di Bali, rasa penasaran dan kegagalan yang dialami sebelumnya terus dianalisis dan dicarikan solusi. Hingga Maya mulai kembali menemukan jati dirinya dan bertekad untuk kembali bangkit dari kegagalan panen perdana.

Rasa penasaran dan jawabannya pun membuncah. Selepas kerja di Bali, akhirnya Maya memutuskan untuk merantau ke Mojokerto serta melanjutkan pertanian organik yang sebelumnya gagal.Tekad Maya semakin kuat kala itu karena Maya bertemu pemilik lahan yang bersedia meminjamkan lahannya. Peminjaman lahan ini menggunakan prinsip bagi hasil ke depannya. Maya pun menyambut antusias dan mulailah memanfaatkan lahan seluas 1 hektar yang berlokasi di dusun Claket, kecamatan Pacet, Mojokerto.

Tentang Keberlanjutan Pertanian Organik

Berawal dari kegagalan pendistribusian hasil panen yang harganya ditentukan oleh tengkulak, Maya mencoba untuk bangkit melalui pertanian organic dan Menyusun strategi jitu agar distribusi hasil panen bisa mendapatkan harga yang wajar.

Akhirnya pada tahun 2012, Maya berhasil mendirikan Twelve’s Organic sebagai badan yang nantinya akan mengelola sekaligus mendistribusikan hasil pasca panen. Tujuannya jelas, dengan adanya Twelve’s Organic ini para petani nantinya bisa mendapatkan harga yang layak pasca panen bukan harga murah para tengkulak.

Bukan hanya itu saja, dengan label Twelve’s Organic, Maya memberdayakan para petani untuk keberlanjutan pertanian di masa depan. Mulai dari pelatihan menjadi petani organic hingga memberikan kebebasan kepada para petani yang ikut untuk memilih sendiri jenis tanaman yang akan ditanam.

Pertanian Organik
Aktivitas di Twelve's Organic

Konsep menarik ini, akhirnya berhasil menghimpun dua kelompok tani. Kelompok tani yang pertama fokus bertanam sayuran organik sedangkan kelompok tani kedua fokus menanam buah organik. Hasil panen dari dua kelompok tani ini juga sudah mulai dipersiapkan teknik pendistribusian hasilnya agar tidak merugikan para petani. Salah satunya dengan teknik pemasaran digital marketing.

Keberlanjutan Petani dengan Kolaborasi Teknologi

Keberlanjutan hasil pertanian, bukan hanya dari produk yang dihasilkan tetapi juga dari harga yang didapatkan oleh para petani pasca panen. Semakin wajar harganya, maka semakin banyak yang ingin terlibat sebagai petani. Begitulah yang Maya pikirkan dan rencanakan.

Mengandalkan sistem teknologi digital, akhirnya terpikirkan untuk menjalankan Teknik digital marketing. Kerangka pengetahuan yang diperoleh saat kuliah dan pengalaman kerja di Bali membuka banyak wacana dan pengetahuan akan konsep dari digital marketing ini.

Digital Marketing
Salah satu teknik digital marketing @twelves.organic

Maya mulai membuat media sosial @twelves.organic dan memanfaatkannya sebagai media pemasaran. Semua foto, video, narasi dikemas secara menarik untuk menggaet para pembeli dan target pasar lainnya. Konsep digital marketing berbasis media sosial ini berhasil mendapatkan pembeli tetap yaitu 2 supermarket, 2 restoran, hotel dan 80 rumah tangga dengan harga terbaik, bukan harga murah hasil monopoli tengkulak.

Makanya tidak heran, jika semua jerih payah dan strategi yang Maya terapkan sebagai petani milenial mendapatkan sambutan positif untuk keberlanjutan pertanian di Indonesia. Berbagai penghargaan pun berdatangan seperti penghargaan Duta Petani Muda Pilihan Oxfam tahun 2016 dan penghargaan dari SATU Indonesia Awards kategori lingkungan dengan tema: Petani Organik Milenial dari Flores tahun 2019

Bagi Maya, taka ada perjuangan yang sia-sia, begitupun dengan kegagalan. Karena dari itu semua, kita bisa lebih berusaha agar bermanfaat buat lingkungan dan masyarakat. Suatu saat nanti, entah kapan julukan Indonesia sebagai negara agraris dan swasembada pangan tetap kembali mendunia. Bukan hanya sebagai slogan tetapi juga sebagai kenyataan yang ada dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Komentar